Dulohupa.id – Beberapa hari terakhir, jagat maya digemparkan dengan video tak senonoh yang melibatkan oknum guru dan murid di salah satu sekolah Madrasah di Gorontalo. Sempat disebut suka sama suka, karena oknum guru dan murid ini diduga sudah menjalin hubungan dekat dari tahun 2022. Namun murid yang masih remaja itu mengaku terpaksa berhubungan intim dengan gurunya, karena tertipu oleh perhatian yang diberikan.
Sempat merasa risih dan ingin melapor perlakuan oknum guru ini, hanya saja si murid tidak memiliki bukti dan takut akan dikeluarkan dari sekolah. Saat ini oknum guru sudah tetapkan sebagai tersangka dengan ancaman 15 tahun penjara. Publik pun ramai mengaitkan dengan modus kejahatan seksual pada anak dan remaja di bawah umur yang dikenal dengan istilah Child Grooming.
Child Grooming adalah strategi manipulasi yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dan remaja dengan melalui cara-cara yang tampak tidak berbahaya di awal. Pelaku sering memanfaatkan hubungan “akrab” dengan korban, mulai dari membangun kepercayaan hingga memberi hadiah atau pujian berlebihan.
Hubungan ini bisa berwujud pacaran, pertemanan, atau bahkan dalam pernikahan di mana pelaku berusaha mengendalikan dan mendominasi korban. Manipulasi yang dilakukan pelaku sering kali bertujuan untuk membuat korban merasa tergantung pada mereka.
Sebagai contoh, pelaku akan memberikan sesuatu yang berharga seperti uang atau barang, sehingga korban merasa berkewajiban membalas kebaikan tersebut. Dalam banyak kasus, pelaku akhirnya memaksa korban untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan, seperti hubungan seksual. Karena korban akan merasa tidak ada pilihan selain mengikuti kemauan pelaku (suara.com, 03/10/24).
Sederhananya di mata korban, pelaku tampak menjelma sebagai sosok si paling peduli, dermawan dan menyayangi. Terlebih dalam perkara di atas, korban adalah yatim piatu. Kondisi rentan inilah yang diduga dimanfaatkan oleh pelaku selama bertahun-tahun hingga akhirnya terungkap.
Mencari Akar Masalah
Child Grooming banyak dialami oleh anak dan remaja yang berasal dari keluarga rapuh, kurang kasih sayang, bahkan dari keluarga kurang mampu. Sehingga tidak dapat kita pungkiri bahwa peran orang tua sangat penting untuk menghindarkan anak-anak dari kejahatan seksual ataupun child grooming ini.
Hanya saja, kita perlu mendetili lebih dalam, bahwa kejahatan seksual yang marak terjadi bukan hanya diakibatkan karena kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orang tua terhadap anaknya, tetapi hal ini juga tidak lepas dari kegagalan negara melindungi rakyatnya, gagal mengayomi dan menjamin keamanan mereka.
Beginilah derita hidup di bawah naungan sekularisme, paham yang menolak campur tangan agama dalam kehidupan. Menghilangkan rasa takut pada Allah SWT dalam melakukan perbuatan. Halal dan haram bukan lagi menjadi standar dalam berbuat.
Ini meniscayakan seorang pendidik yang notabenenya menjadi sosok yang melindungi, memberikan teladan yang baik bagi muridnya malah melakukan tindakan amoral demi memenuhi nafsu bejatnya. Bahkan rela menggadaikan kehormatan sendiri dan masa depan generasi.
Belum lagi, lemahnya kontrol dari masyarakat tentang pentingnya saling menasehati dalam kebaikan, serta sanksi yang diberikan oleh negara kepada pelaku kejahatan seksual tidak memberikan efek jera karena tidak sampai pada hukuman mati melainkan hanya dipenjara. Dan bisa jadi sanksi yang diberikan juga sangat ringan, seperti pemberian uang kepada pihak keluarga untuk berdamai, maka kasus bisa saja hilang dengan begitu saja tanpa penyelesaian secara hukum.
Negara Berperan Besar
Kondisi semacam ini jika dibiarkan akan memberikan ancaman serius bagi generasi kita. Maka dalam Islam untuk menuntaskan problem kejahatan seksual butuh semua pihak untuk ikut berperan, baik dari orang tua, lingkungan bahkan negara.
Dari pihak orang tua, mereka berperan sebagai madrasah pertama bagi anak, mendidik dan memberikan kasih sayang penuh, mengasuh dan menjaga mereka dengan asas keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, sehingga anak punya benteng kokoh untuk membedakan mana perbuatan yang diperbolehkan dalam syariat dan mana yang tidak.
Dari pihak lingkungan yakni masyarakat pun akan menjadi pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan, serta senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapapun.
Dari pihak negara, akan memberikan sanksi yang tegas dengan menghukum para pelaku berdasarkan jenis dan kadar kejahatannya menurut syariat.
Dalam Islam, sanksi bagi pelaku zina yang belum menikah (ghayr muhshan) seperti pemuda dan pelajar diancam hukuman 100 kali cambukan sebagaimana dalam Surah An-Nur : 2, Allah SWT berfirman :
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir.” (TQS. An- Nur : 2).
Pelaku zina yang sudah menikah (muhshan) akan dijatuhi rajam hingga mati sebagaimana yang Nabi saw. lakukan terhadap seorang perempuan Al-Ghamidiyah dan lelaki bernama Maiz bin Malik.
Perzinaan dalam Islam bukanlah jenis perkara yang membutuhkan laporan atau pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang dirugikan agar kasus bisa diproses lebih lanjut, akan tetapi zina haram secara mutlak sekalipun dilakukan atas dasar suka sama suka.
Allah SWT. berfirman, “Janganlah kalian mendekati zina. Sungguh zina itu tindakan keji dan jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’ : 32).
Dengan pemberlakuan sanksi semacam ini oleh negara, sudah bisa dibayangkan kejahatan seksual berkedok rayuan alias child grooming seperti ini niscaya bisa diminimalisir. Sebab setiap manusia pasti berpikir ulang 1000 kali, walaupun bukan karena takut kepada Allah SWT dan azab neraka, minimal takut dijatuhi hukuman di dunia.
Para orang tua pun bisa bernafas lega tanpa perlu dihantui child grooming yang setiap saat mengintai. Sayangnya kenyataan yang berlaku hari ini tidak demikian. Dalam Islam, sanksi merupakan langkah kuratif yang memiliki 2 fungsi yakni memberikan efek jera sekaligus penebus dosa bagi pelaku kejahatan, termasuk pelaku zina.
Sebelum sanksi ini diberikan, tentunya dari pihak negara melakukan langkah preventif terlebih dahulu, ibarat pepatah ‘lebih baik mencegah daripada mengobati’. Diantaranya, negara mengatur dan mengelola pola interaksi antara laki-laki dan perempuan berdasarkan aturan islam dengan cara:
(1) kewajiban menutup aurat, menundukkan pandangan dan berhijab syar’i;
(2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan yang bukan mahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan);
(3) larangan mengeksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja;
(4) larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa disertai mahram.
Negara juga mengoptimalkan fungsi lembaga media dan informasi untuk menyaring konten-konten dan tayangan yang merusak generasi, seperti konten-konten porno, tayangan-tayangan memperlihatkan aurat, serta perbuatan apapun yang mengarah kepada kemaksiatan.
Serta negara menerapkan sistem pendidikan berbasis aqidah Islam. Dengan sistem ini, seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat yang berdakwah dengan saling memberi nasihat di antara sesama.
Demikianlah, negara berperan besar dalam mencegah segala bentuk kriminalitas dan kejahatan seperti kejahatan seksual terhadap anak bahkan tersolusi hingga ke akar-akarnya dengan cara penerapan syariat Islam dalam seluruh lingkup kehidupan manusia. Wallahualam bishowab.
Oleh : Devina Nurlatifa (Penulis adalah Aktivis Muslimah)