Gorontalo – Bertepatan dengan 10 Januari, setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Indonesia dan Gerakan 1 Juta Pohon.
Rasanya Indonesia memang perlu punya hari sendiri untuk lingkungan, sebagai pengingat akan pentingnya menjaga dan melestarikan alam, dan seakan-akan memberi isyarat bahwa segala sesuatu yang hidup suatu saat akan mati. Meski sebenarnya sebagian manusia masa kini tak benar-benar peduli dengan ancaman kematian, kecuali ancaman kekuasaan.
Setiap tahun diperingati, namun setiap tahun pula ancaman matinya lingkungan hidup terus bermunculan. Isu ini bahkan gencar disuarakan oleh para aktivis lingkungan, yang bukan aktivis lingkungan juga ikut serta, meski bersuara sambil menghembuskan asap rokok dan membuang puntungnya sembarangan.
Ya, pencemaran udara tidak lebih besar dari deforestasi hutan di Kabupaten Pohuwato yang berhasil mengekspor wood pellet ke negara-negara maju.
Mungkin pula, pencemaran udara tidak lebih besar dari tambang emas ilegal di hutan Boliyohuto yang diprakarsai oleh oknum-oknum pejabat berbagai institusi. Saat isu-isu tersebut muncul ke permukaan, rasanya seperti slogan Miss Indonesia, “semua mata tertuju padamu”. Tapi ini luar biasa.
Masyarakat pintar melihat dampak kerugian paling besar dari praktik-praktik serakah di Bumi Gorontalo yang masuk nominasi 5 besar daerah termiskin Indonesia. Kalau ingin kaya, kaya lah sama-sama, jangan sendiri. Mungkin begitu.
Di sisi lain, di daerah sendiri yang paling dekat dengan kita di Kabupaten Gorontalo, ada Danau Limboto yang sempat diprediksi akan hilang di tahun 2025. Kualitas air Danau Limboto rendah akibat limbah peternakan, pertanian, limbah budidaya ikan keramba, dan limbah domestik yang menyebabkan sedimentasi dan membuat danau semakin dangkal, kata Jhon Wempi Wetipo dalam kunjungan Wakil Menteri PUPR (Kompas. com, 2020).