Dulohupa.id – Arjun Jakatara (52), seorang petani di Desa Marisa Selatan, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato diduga menjadi korban salah tangkap polisi saat terjadinya kerusuhan di Pohuwato, Gorontalo beberapa waktu lalu.
Keluarga korban hanya bisa menangisi keberadaan Arjun Jakatara yang kini mendekam di ruang tahanan Polres Pohuwato.
Arjun saat itu hendak menerima upah buruh sebagai petani jagung, namun justru ditangkap pihak kepolisian di saat masa aksi berlarian.
Ia tak sempat lagi melakukan pembelaan apalagi perlawanan saat diseret petugas dari Depan Kampus Universitas Pohuwato menuju Mapolres Pohuwato.
Berdasarkan keterangan saksi mata, Haris Rahman mengaku, korban saat itu berada di depan rumahnya hendak mengambil upah kerja. Di saat bersamaan, pihak kepolisian mengejar para pendemo.
Namun ia terkejut saat melihat Arjun malah ditarik paksa oleh polisi sembari ditendang, dan dipukul menggunakan senjata milik aparat. Bukan hanya Arjun, anak Haris juga diperlakukan hal yang sama oleh polisi.
“Saya sudah bilang sama mereka (Arjun dan anak Haris) bahwa, ayo masuk ke dalam rumah. Namun mereka berdua tak mau, sebab mereka berkata hanya ingin melihat. Kata Arjun “torang kan tidak ba apa-apa” (Kita kan tidak melakukan apa-apa). Dan tak berselang lama polisi langsung menangkap mereka, dianggap bahwa yang mana anak saya dan si Arjun ini ikut demo juga. Padahal kan tidak. Saya melihat anak saya dan Arjun ditendang dan dipukul menggunakan senjata, sembari diseret menuju Polres Pohuwato,” Ungkap Haris Rahman kepada Dulohupa, Rabu (11/10/2023).
“Sampai keluar darah dari mulut, hidung, lewat telinga, saya lihat. Saya coba mau jelaskan kalau dia (Arjun) tidak ikut demo, bukan penambang. Mereka tetap bilang ah tidak mungkin. Malah saya diancam, kalau ikut campur bapak juga saya bawa, maka dari itu saya mundur meskipun anak saya juga dibawa,” Sambung Haris yang merupakan bos dari Arjun bekerja.
Haris menceritakan, sebelumnya Arjun bersama beberapa buruh tani lainnya baru saja selesai memanen jagung miliknya yang berada di Desa Botubilotahu, Kecamatan Marisa. Arjun dan beberapa pekerja bersepakat untuk menerima upah di salah satu rumah yang berada di depan kampus Universitas Pohuwato yang jaraknya tak jauh dari Polres Pohuwato.
“Selesai kerja sekitar jam 1 siang, turun ke kampung itu jam 3 dan sekitar setengah 4 saya kasih gaji mereka. Setelah terima gaji, tiba-tiba massa lari ke lorong di depan kampus karena dikejar polisi. Melihat itu kami lari ke dalam, Nah Arjun dengan anak saya bertahan dijalan karena menganggap tidak melakukan apa-apa, Tiba-tiba mereka ditangkap,” ungkap Haris.
“Dia (Arjun) dituduh melakukan pengerusakan di kantor perusahaan yang berada di gunung Hulawa (Pani). Tapi itu kejadian jam 10.00 Wita sedangkan saat itu Arjun masih dikebun bekerja dengan saya, nanti jam 13.00 Wita baru itu selesai pekerjaan mereka mengupas jagung, dan turun ke kampung nanti jam 15.00 Wita. Itu saya cari tahu kenapa sudah jadi begini apakah orang bodok dibodohi. Apalagi sudah tua begitu,” lanjut Haris.
Sementara itu, Santi Jakatara selaku anak korban menceritakan ayahnya dipaksa mengaku untuk mengakui perbuatan yang sama sekali tak dilakukanya.
Kata Santi, ayahnya ditendang, dipukuli hingga akhirnya mengakuinya lantaran tak tahan lagi dengan rasa sakit yang diderita, dan akhirnya ayah saya memberiksn cap jempolnya pada selembar kertas yang berisikan pengakuan.
“Setelah beberapa hari saya datang ke Polres Pohuwato, awalnya belum bisa dijenguk. Namun setelah beberapa hari lagi saya ketemu dengan ayah saya, dan disitu dia menceritakan bagaimana polisi saat memeriksa ayah saya, sampai akhirnya dirinya terpaksa mengakui kesalahan yang tidak dilakukan ayah saya. Dipukul hingga ayah saya tak tahan lagi dan mengiyakan apa yang jadi keinginan pihak kepolisian,” ucap Santi.
“Dia sudah tua, jadi sudah tak tahan lagi menahan pukulan. Melihat tubuh ayah saya yang luka-luka sembari mendengarkan dia bercerita saya langsung menangis. Namun jiwa seorang bapak yang tidak mau anaknya kepikiran, ayah saya terus berucap “tidak apa apa no’u, sudah saja,” Ungkap Santi Jakatara sambil terisak.
Lain halnya dengan Yanti, anak Arjun yang satunya. Kata Yanti, saat berkunjung ke Polres Pohuwato untuk membesuk, dirinya dan keluarga kaget tiba-tiba disodori surat oleh aparat kepolisian yang menetapkan Arjun sebagai tersangka, dimana surat tersebut sudah dibubuhi cap jempol Arjun. Keluarga pun protes lantaran Arjun yang tak tahu baca tulis tiba-tiba menyertakan cap jempol dalam surat tersebut.
“Saya baku banta akan pa dorang (Polisi) kemarin itu karena ti sebe ini kasian tidak tahu ba baca, tidak ada sekolah, kenapa tiba-tiba dia ba cap jempol. Saya tanya lagi sama ti papa, dia jawab tidak mo ba cap jempol kata dorang mo kase sakit, mo dipukul. Ba periksa sambil ba pukul. Jadi terpaksa mengaku ikut demo supaya tidak dipukul lagi. Nanti itu dia (Arjun) dipindah di ruang tahanan. Padahal dia ini kasian sudah satu minggu ini hanya ba kupas milu di Desa Bongo,” Ujar Yanti.
Kata Yanti pihak keluarga baru mengetahui ayahnya ditangkap polisi saat video yang memperlihatkan para tersangka kericuhan demo 21 September kemarin beredar di media sosial. Keluarga pun syok melihat kondisi sang ayah yang diborgol dan sudah berlumuran darah.
Hingga saat ini, keluarga Arjun Jakatara pun masih belum tahu kelanjutan dari kasus yang disangkakan kepada Arjun. Berbagai upaya pun dilakukan agar Arjun bisa kembali ditengah-tengah keluarga, namun belum juga membuahkan hasil.
Reporter: Hendrik Gani