Penulis : Wahyuni Hasan, S.Pd.I
Masyarakat Indonesia tengah dihebohkan soal kasus keracunan makanan makan bergizi gratis (MBG) yang telah mengalami peningkatan. Keracunan MBG menjadi kejadian luar biasa, karena banyaknya korban hingga ribuan.MBG adalah salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Program ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan gizi, meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia, dan membentuk SDM unggul yang mampu bersaing di masa depan.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengungkap data kasus keracunan program MBG. Dilihat dari wilayah, BGN mencatat 9 kasus terjadi di wilayah I yang mencakup Pulau Sumatera. Jumlah korban keracunan mencapai 1.307 orang. Untuk wilayah II yang mencakup Pulau Jawa, terjadi 46 kasus dengan 4.147 orang mengalami keracunan.
Sementara itu, di wilayah III di Indonesia Timur, ada 17 kasus dengan total korban keracunan sebanyak 1.003 orang. Dengan demikian total korban keracunan MBG mencapai 6.457 orang.
(haibunda.com)
Tentunya ini merupakan kejadian luar biasa yang harusnya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Namun disayangkan pernyataan dari pemerintah terkesan tidak serius. Bahwa keracunan MBG hanya sekedar angka, sebagaimana yang dikutip di Media, CNN Indonesia — Presiden RI Prabowo Subianto menyebut kesalahan atau kekurangan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di seluruh Indonesia hanya 0,00017 persen saja.
Hal itu disampaikan Prabowo dalam pidatonya dalam penutupan Munas ke-VI PKS di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (29/9).
Merespon pernyataan tersebut Mahfud MD menyatakan menurutnya, hal itu memang kecil secara angka, tetapi tidak bisa dianggap remeh jika menyangkut nyawa.“Tapi kan juga jutaan pesawat terbang di dunia ini lalu lalang setiap hari, kecelakaan satu saja tidak sampai 0,00017 persen orang sudah ribut, karena menyangkut nyawa, kesehatan. Jadi bukan persoalan angka, ini harus diteliti lagi apa masalahnya,” tegasnya.
Kebijakan Gratis yang setengah hati
Meningkatnya kasus keracunan MBG,Lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), juga mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara program MBG secara menyeluruh.
“Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025,” kata Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih kepada wartawan Riana A Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (21/09).
“Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” ucap Diah. Meski dirancang untuk meningkatkan status gizi anak, MBG sejak awal tidak dipersiapkan secara matang dari aspek regulasi, keamanan pangan dan kecukupan nutrisi hingga monitoring dan evaluasi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pengamat kebijakan publik asal Balikpapan, Ebin Marwi menilai akar masalah bukan pada gagasan MBG itu sendiri, melainkan pada tata kelola yang belum matang. Tata kelolanya tidak disiapkan secara maksimal, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kesan yang muncul justru asal gugur kewajiban,”
Selain soal teknis, Ebin juga mengingatkan potensi penyalahgunaan anggaran dalam pelaksanaan MBG. Dengan nilai program yang mencapai triliunan rupiah, risiko “proyek basah” sangat besar jika tata kelola tidak transparan.
“Banyak dapur MBG yang ternyata dimiliki pihak tertentu yang punya koneksi dengan pejabat. Akhirnya anggaran tergerus, makanan yang sampai ke anak-anak kualitasnya jauh dari harapan,” ujarnya. (pusaranmedia.com)
Inilah sejatinya pangkal masalah, demi memenuhi janji kampanye program MBG terkesan sangat setengah hati, hanya untuk memuluskan ambisi pemerintah yang seolah pro kepada rakyat. Ini terkait realitas bahwa pemerintahan hari ini memang lahir bukan dari rahim rakyat, melainkan dari berbagai drama politik dan deal-deal dengan para pemilik modal. Wajar jika nyaris semua kebijakan pemerintah jauh dari paradigma melayani kepentingan rakyat, melainkan sarat berbagai kepentingan politik sesaat yang sejalan dengan spirit populisme dan paradigma pro kapitalis.
Butuh Evaluasi Sistemik
Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) setelah muncul kasus keracunan massal di sejumlah daerah. Menurut Puan, evaluasi yang dilakukan harus bersifat total, mencakup semua rantai penyediaan makanan. Hal ini mencakup standar dapur produksi, proses distribusi, hingga mekanisme pengawasan di sekolah penerima. Dengan demikian, akar persoalan bisa ditemukan secara jelas dan perbaikan dapat dilakukan secara menyeluruh.
(dpr.go.id -berita/ Kasus-Keracunan Terjadi Massal DPR Minta Evluasi Total Program MBG)
Hal inipun menjadi bahan evaluasi oleh Wakil Gubernur Gorontalo, Idah Syahidah Rusli Habibie, melakukan inspeksi mendadak (sidak) di beberapa dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) seperti di Tamalate, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo.
Sidak ini dilakukan untuk memastikan keamanan dan kebersihan dalam proses pengolahan makanan yang akan disalurkan kepada penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tujuan daripada sidak ini adalah untuk mencegah kejadian-kejadian yang merugikan anak-anak kita pada saat menerima makan bergizi. Nah tentunya dengan sidak ini mengevaluasi kekurangan-kekurangan yang dilaksanakan oleh unit-unit yang mendapat tanggung jawab terhadap makanan bergizi gratis ini. Tentunya ini adalah langkah yang kami ambil di awal untuk mencegah, itu tadi, peracunan,” ujar Idah.
(gorontaloprov/ untuk mencegah keracunan makanan wagub idah syahidah sidak dapur MBG).
Evaluasi tersebut tentunya punya harapan besar agar program ini berjalan dengan baik, tapi disisi lain banyak masyarakat yang khawatir akan terulang sehingga berharap program MBG dihentikan. Sejumlah orang tua siswa di Kebumen menyatakan penolakan seiring bergulirnya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Mereka meminta pemerintah segera mencari alternatif agar pelajar yang keracunan MBG tidak terus bertambah. Marifatun pun mengusulkan, program tersebut dialihkan berupa bantuan uang tunai. Dari uang tersebut orang tua dapat leluasa menyajikan hidangan untuk anak tanpa harus merasa khawatir.
Selanjutnya Ia meminta pemerintah membuka diri dengan mendengarkan keluhan dari masyarakat. “Bagi saya lebih bermanfaat buat tabungan pendidikan ke depan. Biaya sekolah sampai kuliah sekarang semakin mahal. Itu yang lebih tepat perlu difikirkan,”
(radarjogja.jawapos.com/ orang-tua-di-kebumen-serukan-tolak-mbg-minta-makanan-diganti-dengan-uang-tunai)
Inilah yang menjadi akar masalah, bahwa evaluasi program MBG ini belum menyentuh akar masalah. Karena yang di butuhkan masyarakat adalah kepastian kesejahteraan, jaminan pendidikan yang seharusnya diprioritaskan.
Apa yang terjadi saat ini sejatinya merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Posisi pemimpin dalam sistem ini memang jauh dari paradigma riayah (pelayanan), apalagi junnah (perlindungan). Penguasa sekadar memerankan fungsinya sebagai penjaga kepentingan segelintir orang, terutama para kapitalis dan para pemburu kekuasaan. Sedangkan rakyatnya didudukkan sebagai objek penderita.
Mekanisme Islam
Sistem Islam memiliki mekanisme untuk memenuhi gizi rakyat. Pertama, terjaminnya kebutuhan primer per individu secara layak.
Syariat memerintahkan setiap kepala keluarga untuk bekerja. Jika kepala keluarga tidak sanggup bekerja, maka kerabatnya yang membantu. Jika tidak ada kerabat atau kerabat tidak mampu membantu, maka keluarga tersebut akan mendapatkan santunan dari negara.
Kedua, Negara wajib membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Dengan tersedianya lapangan pekerjaan bagi orang tua, maka setiap keluarga akan mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya. Adapun makan siang saat anak berada di sekolah, pemenuhan gizinya bisa berasal dari sekolah. Ini satu kesatuan dengan pendidikan, sebab pendidikan dan pangan adalah kebutuhan primer yang dijamin oleh negara.
Ketiga, politik APBN syariah mampu menyediakan fasilitas sekolah berkualitas beserta makan siang bergizi. Seluruh kebutuhan termasuk pangan sudah terjamin, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Ketika politik APBN bebasis syariah ini diterapkan, pemasukannya melimpah dan pengeluarannya berdasarkan skala prioritas. Umat pun menjadi prioritas utama.
Keempat, sistem politik Islam tidak akan melahirkan penguasa populis. Penguasa dalam sistem Islam tidak mementingkan pencitraan, seluruh kebijakannya menuntaskan persoalan, termasuk pemenuhan gizi.
Jadi, jaminan ketersediaan pangan bergizi bagi seluruh rakyat benar-benar terwujud, bukan hanya di siang hari, tetapi di setiap waktu makan, bukan hanya untuk anak-anak, tetapi seluruh warganya.
Dari sini saja, bisa dibayangkan modal negara memakmurkan rakyat begitu melimpah ruah. Wajar jika kehidupan masyarakat dalam naungan Islam begitu ideal dan mengagumkan.Sungguh, keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan benar-benar nyata dalam sistem kepemimpinan Islam.
Inilah solusi sistemik yang diharapkan saat ini dengan kembali pada sistem pemerintahan Islam yang kaffah.











