Penulis: Lia Amalia, S.KM., M.Kes
(Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin)
Di Indonesia, stunting telah berkembang menjadi masalah strategis yang membutuhkan perhatian serius. Kondisi ini tidak hanya menunjukkan masalah gizi tetapi juga masalah sosial, ekonomi, dan etika yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 berfokus pada stunting di seluruh dunia, dengan tujuan untuk mengurangi segala bentuk ketimpangan dan kekurangan gizi.
Penanganan stunting di Indonesia adalah langkah penting untuk mencapai target SDGs dan menyiapkan generasi berkualitas untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Namun, menangani stunting tidak hanya masalah teknis. Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah bagaimana kebijakan dan intervensi dijalankan secara etis. Apakah hak dan akses yang sama diberikan kepada semua anak? Apakah intervensi menghindari stigma dan menghormati hak masyarakat? Untuk penanganan stunting yang efektif, manusiawi, dan berkelanjutan, etika kesehatan masyarakat harus menjadi landasan utama.
Stunting: Tantangan Komplikatif dalam Pembangunan Nasional
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 21,5%. Meskipun angka ini telah menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai target nasional 14% pada tahun 2024. Kekurangan gizi jangka panjang selama 1.000 hari pertama kehidupan menyebabkan stunting, yang berdampak pada pertumbuhan fisik, perkembangan kognitif, dan kesehatan jangka panjang.
Produksi nasional dipengaruhi oleh stunting, yang membatasi potensi setiap orang. Dalam hal ini, penanganan stunting harus dikaitkan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dan visi Indonesia untuk menjadi negara maju pada tahun 2045. Oleh karena itu, hal yang mendesak dan penting adalah memasukkan etika kesehatan masyarakat ke dalam semua kebijakan dan intervensi.
Etika Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Penanganan Stunting
Pertama, Keadilan dalam Akses Gizi dan Layanan Kesehatan
Keadilan adalah salah satu pilar utama etika kesehatan masyarakat. Setiap anak memiliki hak yang sama untuk tumbuh sehat, tidak peduli latar belakang sosial-ekonomi atau lokasi geografisnya. Namun, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa akses yang tidak adil terhadap layanan kesehatan dan makanan yang sehat masih ada, terutama di daerah terpencil dan miskin.
Kebijakan yang berkaitan dengan stunting tidak hanya difokuskan di kota-kota besar atau daerah yang mudah diakses karena prinsip keadilan. Layanan kesehatan, program gizi, dan intervensi berbasis komunitas harus tersedia untuk semua orang. Keadilan dapat dicapai melalui peningkatan infrastruktur kesehatan di daerah tertinggal dan pemerataan alokasi anggaran.
Kedua, Menghormati Otonomi dan Partisipasi Masyarakat
Dalam proses intervensi kesehatan, etika kesehatan masyarakat menekankan betapa pentingnya menghormati hak dan otonomi individu dan komunitas. Tanpa melibatkan masyarakat secara aktif, program penanganan stunting mungkin tidak efektif dan menimbulkan resistensi. Melibatkan masyarakat, khususnya ibu dan keluarga, dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi program menjadi penting dalam konteks ini. Perubahan yang lebih berkelanjutan akan dicapai melalui pemberdayaan komunitas melalui pendidikan gizi dan peningkatan keterampilan pola asuh.
Ketiga, Menghindari Stigma dan Diskriminasi
Pandangan masyarakat tentang stunting dapat menyebabkan stigma terhadap kelompok masyarakat tertentu. Kondisi psikologis keluarga yang terdampak dapat diperburuk dengan pesan yang menyalahkan orang tua atau mengaitkan stunting dengan kemiskinan secara langsung. Stigma ini tidak hanya mencegah keluarga untuk meminta bantuan, tetapi juga menumbuhkan pandangan negatif tentang masyarakat. Untuk menghindari stigmatisasi, kempanye Masyarakat yang etis harus dirancang dengan hati-hati. Mereka harus berfokus pada solusi masalah dan edukasi. Narasi positif dan kolaboratif akan meningkatkan dampak program dan mendorong partisipasi sukarela masyarakat.
Keempat, Transparansi dan Akuntabilitas Kebijakan
Penanganan stunting membutuhkan keterbukaan informasi. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui tentang program dan kebijakan pemerintah dan apa yang telah dicapai. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan sulit dibangun jika tidak ada transparansi. Secara terbuka dan berdasarkan data, pemerintah harus melaporkan kemajuan dalam program penanganan stunting. Agar program dapat diperbaiki dan ditingkatkan dari waktu ke waktu, evaluasi yang objektif dan menyeluruh juga penting.
SDGs 2030 dan Indonesia Emas 2045: Menuju Masa Depan yang Sehat dan Berdaya Saing
Untuk mencapai SDGs 2030, penanganan stunting merupakan bagian penting dari upaya Indonesia. Beberapa tujuan SDGs yang berkaitan dengan stunting termasuk Tujuan 2: Mengakhiri Kelaparan dan Meningkatkan Gizi, Tujuan 3: Kehidupan Sehat dan Kesejahteraan, Tujuan 6: Air bersih dan Sanitasi yang Layak, dan Tujuan 10: Mengurangi Ketimpangan. Dengan mencapai tujuan ini, kita akan dapat membangun masa depan yang lebih sehat dan inklusif. Selain itu, untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, penanganan stunting merupakan langkah penting dalam menyiapkan generasi berkualitas. Anak-anak hari ini yang sehat dan cerdas akan menjadi pilar pembangunan negara di masa depan. Mereka akan memiliki kemampuan kognitif dan fisik terbaik untuk berkontribusi pada pembangunan bangsa dan bersaing di kancah internasional.
Penutup: Komitmen Bersama untuk Masa Depan Berkelanjutan
Penanganan stunting tidak hanya tentang mengurangi prevalensi, tetapi juga tentang bagaimana kita menghargai setiap individu dan komunitas dalam proses tersebut. Indonesia dapat mencapai target SDGs 2030 dan menyiapkan generasi emas untuk menyongsong 2045 dengan mengedepankan prinsip etika kesehatan masyarakat seperti keadilan, penghormatan terhadap otonomi, transparansi, dan kolaborasi. Stunting adalah masalah yang ditanggung oleh semua orang.
Untuk membuat masa depan yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan, dibutuhkan pendekatan pentahelix agar dapat penurunkan stunting dapat optimal. Melalui kolaborasi yang terintegrasi antara lima pemangku kepentingan utama, di mana Pemerintah berperan sebagai pembuat kebijakan dan penyedia anggaran program stunting, Akademisi memberikan kajian ilmiah dan rekomendasi berbasis bukti untuk intervensi yang efektif, sektor Biasuk kader kesehatan dan tokoh masyarakat berperan aktif dalam implementasi program di tingkat akar rumput seperti posyandu dansnis/Swasta mendukung melalui program CSR dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, Komunitas/Masyarakat term pendampingan keluarga, serta Media yang berperan penting dalam menyebarluaskan informasi dan membangun kesadaran masyarakat tentang pencegahan stunting.
Melalui sinergi kelima elemen ini, upaya penurunan stunting menjadi lebih efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan karena mengoptimalkan sumber daya dan kompetensi masing-masing pihak. Dengan komitmen yang kuat dan langkah yang tepat, Indonesia tidak hanya akan berhasil mengatasi stunting tetapjuga akan mewujudkan cita-cita besar menjadi negara maju pada 2045.