Oleh: Dharmawati, S.Pd.I (Aktivis Dakwah)
Presiden Jokowi mengesahkan PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023) pada Jumat (26-7-2024) lalu. PP tersebut di antaranya mengatur tentang ketentuan dan syarat aborsi di Indonesia agar mencegah praktik aborsi ilegal. Secara khusus dalam Pasal 116 disebutkan bahwa aborsi merupakan tindakan yang dilarang dan tidak boleh dilakukan kecuali atas indikasi kedaruratan medis.
Selain itu, aborsi juga hanya boleh dilakukan pada korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. Adanya perpres ini untuk menguatkan UU kesehatan yang disahkan tahun lalu Undang-Undang (UU) Kesehatan Selasa (11/7/2023), yang mengatur ketentuan aborsi. Hal ini diatur dalam Pasal 60 dan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 472.
Mengutip salinan UU, setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan terdapat ketentuan pidana bagi perempuan yang melakukan aborsi. Namun demikian, pidana ini tidak berlaku bagi tenaga medis yang menangani korban pemerkosaan. “Tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 tidak dipidana,” jelas Pasal 429 ayat (3).
Tentunya berbagai regulasi yang dilakukan oleh pemerintah karena praktek aborsi saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Apalagi dengan maraknya penangkapan pelaku praktek aborsi ilegal di sejumlah tempat di Indonesia yang selalu menjadi pemberitaan diberbagi media. Secara nasional, berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tingkat aborsi di Indonesia mencapai 228 per 100 ribu angka kelahiran hidup (hellosehat, 30-11-2022).