Dulohupa.id – Dimasa tahapan Pilkada serentak 2024 ini, Isu terkait perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin karena bertentangan dengan adat Gorontalo, jadi sorotan di kalangan masyarakat.
Ali Mobiliu salah satu peneliti sejarah Gorontalo mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan di Gorontalo tidak seharusnya jadi kontroversi di kalangan masyarakat. Karena menurut Ali, bahwa dalam sejumlah penelitian yang dilakukannya menunjukan bahwa kerajaan dalam limo lo pohala’a, pernah dipimpin oleh perempuan.
“Perlu diketahui, sebelum masa penjajahan, keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo,” ungkap Ali Mobiliu.
“Kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala’a”. Ada lima kerajaan, sehingga disebut limo lo pohalaa,” lanjut Ali.
Kerajaan tersebut yakni Kerajaan Gorontalo atau Hulonthalangi, Kerajaan Limboto atau Limutu, Kerajaan Suwawa, Kerajaan Bulango, dan Kerajaan Atinggola.
Ali Mobiliu sebagai peneliti sejarah Gorontalo menjelaskan, seperti halnya di Kerajaan Suwawa dipimpin oleh seorang perempuan, yaitu bernama Mbui Ayudugia, sebagai Ratu Suwawa pertama, serta yang ke dua Mbui Pi’i Da’a, dan yang ke tiga Putri Rawe.
Dijelaskan Ali Mobiliu, Mbui Ayudugia memimpin kerajaannya pada abad ke-5. Ia memimpin Kerajaan Suwawa yang pusatnya di ketinggian Bangio atau yang kini disebut Pinogu. Mbui Ayudugia dikenal sosok pemimpin yang perkasa dan mampu menyatukan seluruh rakyat Suwawa kala itu.
Sementara di kerajaan Limutu atau Limboto dipimpin oleh seorang wanita bernama Mbui Maimunah. Ratu ini disebut paling banyak melahirkan anak perempuan yang menjadi pemimpin. Kerajaan Hulontalangi itu juga pernah dipimpin oleh seorang perempuan bernama Mbui (Putri) Bulaida’a, istri dari Olongia Humalanggi.
Ratu ini memimpin sejak tahun 1365 hingga 1395. Selanjutnya Kepemimpinan Hulonthalangi dipimpin oleh anaknya bernama Matolodula Da’a dari tahun 1395.
“Di kerajaan Limutu atau Limboto ada tujuh orang pemimpin perempuan antara lain Mbui Maimunah, Mbui Mbungale, Mbui Tolango Hula, Mbui Geyalo, Mbui Molie, dan Mbui Pohele’o.
Setelah Maimunah, lahir pemimpin perempuan bernama Mbui Bungale. Disusul oleh Mbui Tolangohula.
Setelah itu Kerajaan Limboto dipimpin oleh Mbui Geyalo, hingga berlanjut pada kepemimpinan Mbui Molye hingga abad 16, sosok perempuan terakhir yang memimpin Limboto adalah Mbui Pohele’o.
“Mereka itu dipilih melalui muasyawarah mupakat atau muasyawarah adat yang disebut dulohupa. Jadi pernyataan yang mengatakan bahwa perempuan itu tidak bisa jadi pemimpin di Gorontalo itu tidak benar,” tegas Ali
“Sudah sejak dulu bahwa perempuan itu memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Jadi apa yang mereka katakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin di Gorontalo itu hanyalah mitos yang dikarang oleh segelintir orang untuk mencegah agar perempuan tidak boleh memimpin,” kata Ali
Kepemimpinan perempuan di Gorontalo berakhir sejak masuknya VOC Belanda di Gorontalo sejak awal abad 17. Hal lain yang membuktikan bahwa sejarah Gorontalo pernah dipimpin oleh perempuan yaitu pakaian adat Biliu yaitu pakaian adat untuk seorang putri yang dilantik sebagai raja. Biliu atau biluata digunakan oleh seorang ratu saat ia dikukuhkan atau dilantik.
“Pakaian adat biliu itu merupakan simbol kepemimpinan perempuan di Gorontalo. Jadi kalau ada yang bilang perempuan tidak boleh memimpin di Gorontalo berarti dia tidak tahu sejarah,” tegas Ali.
Reporter: Kibong