Oleh: Husein Rahim
Menyikapi terkait Paskibraka yang diduga diminta melepas kerudung, penulis jadi teringat masalah yang hampir sama ketika pada tahun 2012 silam aktivis gender menolak kebijakan gubernur soal pemakaian kerudung di lingkungan ASN Provinsi Gorontalo. Kalimat yang muncul dibenak penulis adalah “Bahkan pelacur pun menjadi mulia dengan kerudung”.
Sekilas ungkapan ini mungkin terdengar aneh, terutama bagi yang memahami bahwa kerudung adalah sepenuhnya urusan pribadi.
Bukan hanya pelacur, tapi pezina, pencuri, koruptor, pembunuh dan para pelaku kejahatan lain, manakala mereka memakai kerudung, tetap saja hal itu tidak salah, bahkan hal ini justru menjadi kemuliaan baginya. Dari sini penulis ingin menggarisbawahi bahwa antara kerudung sebagai syariat yang mengatur pakaian secara fisik dengan amal perbuatan yang lain adalah terpisah dari sisi ganjaran dan pahala.
Contohnya seperti orang yang berkerudung tetapi masih melakukan ghibah, belum bisa menjaga lisanya, lantas bukan kerudungnya yang salah. Ketaatan dia untuk tetap menutup aurat tetaplah memiliki nilai pahala disatu sisi, sementara disisi lain perbuatan seperti berzina, meninggalkan sholat, pacaran, tetaplah akan mendapatkan dosa.
Jangan sampai ketika seorang meniggalkan sholat ditambah membuka aurat maka terbuka dua pintu dosa bagi dirinya. Setidaknya seseorang mengurangi pintu perbuatan buruk.
Jika berkerudung namun masih tetap melakukan kesalahan lain, bukan berarti kerudungnya harus dilepas. Hal ini mungkin sudah berjalan dibeberapa tempat lokalisasi, ketika mereka para pelacur masih menyempatkan diri untuk memakai kerudung kemudian datang ke mushola, mengerjakan sholat dan mendengarkan pengajian. Tentu amal mereka dalam hal ini tidak bisa disalahkan.