Dulohupa.id – Aktivitas ekspor yang dilakukan oleh PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) di Provinsi Gorontalo diduga melanggar hukum alias ilegal.
Hal itu terungkap dari hasil penelusuran Tim Koalisi Masyarakat Sipil yaitu, Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF), Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Simpul Walhi Gorontalo, Pusat Kajian Ekologi dan Pusat Kajian Ekologi Pesisir Berbasis Kearifan Lokal (PKEPKL) dengan tagline #Save Gorontalo yang menyoroti praktik illegal, unreported, dan unregulated dari ekspor wood pellet Indonesia yang terjadi di Gorontalo.
Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum mendorong bisnis Wood Pellet merusak sumber daya alam dan justru menjadi modus kerugian negara.
Selama Oktober 2023 hingga Agustus 2024, ada beberapa provinsi di Indonesia yang terlibat dalam ekspor Wood Pellet ke Korea dan Jepang, dengan total 102.265.313 kilogram senilai 13.417.324 USD. Provinsi-provinsi tersebut meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Gorontalo.
Di Gorontalo, ekspor Wood Pellet tercatat paling tinggi, mencapai USD 11,199 juta dengan bobot 82,27 juta kilogram. Di provinsi ini, hanya ada satu perusahaan eksportir, yaitu PT Biomassa Jaya Abadi, yang mengirimkan Wood Pellet jenis jambu-jambu dan nyatoh ke perusahaan importir Hanwa Co., Ltd. dengan tujuan Korea Selatan dan Jepang.
PT Biomasa Jaya Abadi telah mengantongi sertifikat VLK oleh PT Equality Indonesia. Perusahaan itu menguasai sekitar 80,4% dari total ekspor Wood Pellet Indonesia dalam periode Oktober 2023 sampai 20 Agustus 2024.
Namun dengan kejadian yang terjadi sehari menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-79, pada Jumat 16 Agustus 2024, patroli Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Kapal Negara Gajah Laut-404 yang dikomandani oleh Letkol Bakamla Agus Tri Haryanto mengamankan kapal MV Lakas yang dicurigai membawa barang ilegal berupa Wood Pellet di perairan Gorontalo. Kapal berbendera Filipina dengan 17 anak buah kapal (ABK).
Benar saja dalam pemeriksaan berdasarkan keterangan tertulis Bakamla RI, kapal tersebut tidak memiliki beberapa dokumen penting seperti Certificate of Analysis, Certificate of Origin, serta Certificate of Shipper Declaration yang diperlukan untuk pengangkutan barang berbahaya berdasarkan International Maritime Solid Bulk Cargoes (IMSBC). Meskipun kapal asing tersebut pada akhirnya dilepas di perairan Bitung.
Dari hasil penelusuran tim koalisi Save Gorontalo, terungkap adanya aktivitas ekspor yang dicurigai tidak terlaporkan. Pertama, sistem Informasi Legalitas Kayu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SILK KLHK) melaporkan terhitung sejak Oktober 2023 sampai 13 Juni 2024 kinerja ekspor Wood Pellet di Provinsi Gorontalo dilakukan sebanyak 5 kali.
Sedangkan data ekspor BPS melaporkan ekspor Wood Pellet dari Provinsi Gorontalo sebanyak 8 kali dalam kurun waktu yang sama dengan SILK KLHK. Menurut SILK, Provinsi Gorontalo PT BJA telah melakukan ekspor sebanyak 56.713 ton dengan nilai 7,71 juta USD.
Sementara berdasarkan data BPS ekspor Wood Pellet sebanyak 120.600,96 ton dengan nilai 16.370.812 USD. Terdapat selisih yang merupakan dugaan kerugian negara dari praktik ekspor Wood Pellet yang melibatkan kapal asing yang telah merusak hutan alam di Gorontalo.
Dugaan kecurangan lain dari praktek ini adalah perusahaan yang tercatat sebagai eksportir di Gorontalo hanya melaporkan 2 jenis kayu alam, yakni Nyatoh dan Jambu-Jambu. Sementara itu perusahaan melakukan tebang habis pohon (land clearing) yang memungkinkan adanya jenis pohon yang tidak tercatat dan tidak terlaporkan. Konsekuensi penggelapan jenis kayu merupakan kerugian negara.
Bahkan terungkap bahwa ekspor Wood Pellet dilakukan dengan cara transhipment dalam artian bongkar muat Wood Pellet dilakukan dari kapal ke kapal saat berada di tengah lautan, tentu hal ini tidak sesuai dengan regulasinya.
Transhipment sendiri dilakukan pada tanggal 7-9 Juni 2024, hasil analisis Tim Koalisi transhipment terjadi di luar areal Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKK PRL) yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan nomor 15112110517500001.
Masa berlaku persetujuan tersebut juga hanya 2 tahun atau sejak diterbitkan 1 Oktober 2021. Kepemilikan PKK PRL tidak bisa dijadikan sebagai dalih transhipment. Selain itu kapal asing telah melakukan bongkar muat di dalam calon kawasan konservasi perairan daerah di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Lokasi tersebut juga merupakan lokasi penangkapan gurita masyarakat suku Bajo di Kecamatan Torosiaje.
Hal ini membuat koalisi Save Gorontalo merasa terpanggil dengan sejumlah kejanggalan yang dilakukan oleh PT Biomasa Jaya Abadi.
Seperti yang disampaikan Juru Kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Prayoga menyoroti praktik transhipment ekspor Wood Pellet yang diduga dilakukan dengan cara illegal, unreported and unregulated telah merusak hutan alam Gorontalo harus segera dihentikan.
“Lembaga penegak hukum harus melakukan audit menyeluruh. Pengrusakan hutan untuk memenuhi kebutuhan ekspor Wood Pellet tidak bisa dibenarkan,” tegas Anggi Prayoga.
Disamping itu, Amalya R.O, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia menyatakan, Kementerian ESDM dan KLHK harus melakukan audit terhadap aktivitas produksi Wood Lellet yang telah mengakibatkan deforestasi, penghilangan biodiversitas, dan konflik dengan komunitas masyarakat. Ditambah dengan bermainnya konglomerasi kehutanan yang melayani pasar ekspor Wood Pellet, sementara kebutuhan domestik saja mencapai 10,2 juta ton.
“Dampak yang kita lihat di Gorontalo akibat pemenuhan demand atas Wood Pellet akan meluas ke berbagai wilayah. Pemerintah harus stop program biomassa kayu dan beralih mendorong energi terbarukan yang berdasar pada nilai dan prinsip transisi energi yang adil dan berkelanjutan,” ujar Amalya R.O.
Selain itu, Muhammad Ichwan, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) juga menyerukan hal serupa. Dirinya menegaskan penegakan hukum yang lebih kuat terhadap dugaan pelanggaran dalam praktik transhipment, termasuk dugaan korupsi dan manipulasi data ekspor. JPIK meminta KPK, GAKUM KLHK, Kejaksaan, dan lembaga lainnya untuk segera menyelidiki kasus-kasus tersebut.
“JPIK menekankan perlunya audit dan pengawasan yang lebih ketat untuk mengatasi pelanggaran dan memastikan keadilan serta keberlanjutan lingkungan,” ucap Muhammad Ichwan.
Sama halnya dengan apa yang disampaikan Muhammad Ichwan. Willem Pattinasarany, Ketua Badan Pengurus Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) juga mengungkapkan praktik transhipment merupakan indikasi kuat praktik pencucian uang (Tindak Pidana Pencucian Uang/TPPU) dalam bisnis ekspor Wood Pellet di Gorontalo, yang diduga secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai aturan (Ilegal, Unreported, and Unregulated – IUU).
“Cara ini memanfaatkan celah dalam pengawasan ekspor. Praktik ini mengakibatkan potensi kerugian negara yang lebih besar,” ujar Willem.
Dinamisator Simpul Walhi Gorontalo, Renal Husa menekankan perlunya tindakan tegas penegakan hukum, terutama terhadap perusahaan yang tidak transparan dalam praktiknya. Renal menyarankan agar dilakukan audit lingkungan secara menyeluruh terhadap aktivitas ekspor Wood Pellet. Jika audit menemukan pelanggaran atau kerusakan hutan yang menyebabkan kerugian materiil dan nonmaterial, maka izin perusahaan tersebut harus ditinjau ulang, hingga dicabut.
“Langkah ini penting untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab serta memihak masyarakat kecil,” ungkap Renal.
Senada dengan hal itu, Dr. Terri Repi, M.Si dari Institute for Human and Ecological Studies (Inhides) yang juga Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo menyoroti ekspor Wood Pellet yang telah merusak hutan.
Menurutnya proyek bioenergi tersebut mengubah ekosistem secara drastis. Hal ini mengancam kelangsungan hidup banyak spesies, terutama spesies endemik dan spesies yang membutuhkan habitat spesifik. Proyek bioenergi yang terdapat di Kabupaten Pohuwato merupakan ancaman serius bagi bentang alam Popayato-Paguat yang berupa areal bernilai konservasi tinggi, yang tentunya bukan hanya menyimpan 2 jenis pohon melainkan beragam jenis pohon.
Sementara Dr. Abubakar Siddik Katili, M.Sc Anggota Japesda yang juga dari Pusat Kajian Ekologi dan Pusat Kajian Ekologi Pesisir Berbasis Kearifan Lokal (PKEPKL) Universitas Negeri Gorontalo mengatakan, kerusakan hutan di Pohuwato berdampak pada kesehatan ekosistem pesisir. Aktivitas produksi Wood Pellet di hulu berpotensi memberikan kontribusi terhadap adanya gangguan siklus nutrien yang berdampak signifikan dalam menurunkan kualitas ekosistem di hilir.
Reporter: Hendrik Gani











