Gorontalo – Sebuah ironi penegakan hukum yang luar biasa terjadi di Provinsi Gorontalo. Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Boalemo diberantas tanpa ampun. Namun hanya beberapa kilometer jauhnya, di Kabupaten Pohuwato, aktivitas PETI seakan-akan ‘dipelihara’ dan dibiarkan tumbuh subur selama bertahun-tahun.
Di Boalemo, kata ‘pemberantasan’ bukanlah isapan jempol. Pada Selasa (7/10/2025), Polres Boalemo membuktikannya dengan sebuah operasi gabungan yang menyasar jantung aktivitas PETI di Kecamatan Paguyaman. Ratusan pekerja dihentikan, puluhan lubang tambang ditutup, dan peralatan disita. Ini adalah sikap tegas yang menunjukkan bahwa kejahatan lingkungan adalah musuh bersama.
Aksi yang dipimpin oleh Kabag Ops AKP Pomil Montu, S.H., ini mengirimkan gelombang kejut kepada para penambang ilegal. Pesannya jelas: wilayah hukum Polres Boalemo adalah zona merah bagi PETI. Komitmen untuk memberantas ini terlihat dari keseriusan dan skala operasi yang mereka lakukan di Desa Batu Kramat dan Saripi.
Namun, di seberang perbatasan, di Pohuwato, suasananya sangat berbeda. Kata ‘pemberantasan’ seolah tidak ada dalam kamus Polres Pohuwato. Selama empat tahun, sejak 2020, ratusan lubang galian PETI dibiarkan beroperasi. Tidak adanya tindakan penertiban yang konsisten dan tegas menciptakan kesan bahwa aktivitas ini ‘dipelihara’.
Istilah ‘dipelihara’ mungkin terdengar keras, tetapi sulit untuk tidak menyimpulkannya demikian ketika sebuah kejahatan yang nyata di depan mata dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada sanksi. Sikap pembiaran ini secara tidak langsung memberikan nutrisi bagi PETI untuk terus tumbuh besar, merusak lingkungan, dan meracuni sumber air masyarakat.
Ironi ini mencapai puncaknya ketika Kejaksaan Tinggi Gorontalo yang harus turun tangan mengusut kasus PETI di Pohuwato. Ini membuktikan bahwa ‘hewan peliharaan’ ini sudah tumbuh begitu besar sehingga pemiliknya (aparat lokal) tidak mampu atau tidak mau mengendalikannya lagi, sehingga memerlukan campur tangan pihak luar.
Bagi para penambang ilegal, perbedaan ini tentu sangat terasa. Di Boalemo mereka harus kucing-kucingan dan waspada setiap saat. Di Pohuwato, mereka bisa bekerja dengan lebih tenang. Perbatasan antara Boalemo dan Pohuwato seolah menjadi garis demarkasi antara zona hukum dan zona nyaman bagi para perusak lingkungan.
Pada akhirnya, ironi di perbatasan ini adalah cerminan dari kualitas kepemimpinan dan integritas. Polres Boalemo menunjukkan bahwa mereka adalah abdi negara yang sesungguhnya.
Sementara itu, Polres Pohuwato memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar untuk membuktikan bahwa mereka tidak sedang ‘memelihara’ kejahatan di wilayah mereka sendiri.
Redaksi











