Gorontalo – Khitan bayi perempuan yang dikenal dengan istilah Mongubingo yang merupakan rangkaian lihu lo limo dan mo polihu lo limu adalah salah satu adat istiadat yang terus dilakukan oleh masyarakat suku Gorontalo dari dulu hingga sekarang. Mo polihu lo limo adalah memandikan bayi perempuan yang baru lahir dengan air jeruk untuk menyucikannya, sedangkan lihu lo limo adalah niat untuk menyunat bayi perempuan.
Tujuan dari ritual khitan bagi wanita yang dimulai sejak masa kanak-kanak adalah untuk membersihkan alat kelamin dari kelenjar yang “Haram”. Selain itu, khitanan ini dimaksudkan untuk melambangkan pengangkatan perjanjian suci antara Allah dan Nabi Ibrahim, yang akhirnya menjadi standar kepercayaan masyarakat Gorontalo hingga saat ini.
Para ahli sepakat bahwa hukum Islam mencakup sunat perempuan. Namun, mereka berbeda pendapat apakah itu diwajibkan oleh hukum, sunnah, atau hanya anjuran dan kehormatan. Hal ini disebabkan karena tidak banyak pembenaran yang kuat untuk sunat perempuan, yang menyebabkan ketidaksepakatan di antara para peneliti.
Karena efek negatifnya bagi kesehatan perempuan dan bahkan dipandang melecehkan perempuan, adat khitan Gorontalo menarik perhatian langsung dari otoritas Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Anak dan Perempuan. Sunat perempuan dianggap normal di Indonesia. Adat istiadat, budaya, agama, dan faktor lain yang kuat mendorong hal ini.
Gorontalo memimpin dengan 83,7%, diikuti Bangka Belitung 83,2%, Banten 79,2%, Kalimantan Selatan 78,7%, Riau 74,4%, Papua Barat 17,8%, DI Yogyakarta 10,3 persen, Bali 6%, Papua sebesar 3,6%, dan NTT sebesar 2,7%, menurut data UNICEF tahun 2013. Sunat perempuan dianggap normal di Indonesia. Adat istiadat, budaya, agama, dan faktor lain yang kuat mendorong hal ini.
Standar dan norma yang memandu masyarakat atau individu dalam memutuskan bagaimana bertindak disebut nilai etika. Prinsip-prinsip moral membentuk landasan kode perilaku masyarakat, yang mengarah pada penilaian baik dan buruk.
Status Gorontalo sebagai salah satu daerah tradisional Indonesia melahirkan banyak tradisi yang berkembang sebagai adat masyarakat yang positif. Landasan dari sistem adat yang mapan adalah pengetahuan bahwa masyarakat memiliki sifat perilaku positif atau adab. Agar manusia dapat diterima oleh masyarakat, mereka harus menunjukkan prinsip-prinsip etika yang kuat dalam perilaku mereka. Karena kebiasaan suku Gorontalo yang mewariskan adat secara turun-temurun, anggota akan merasakan kebersamaan.
Masyarakat suku Gorontalo memiliki tradisi yang mengatur awal keberadaan hingga akhir kehidupan manusia yang masing-masing memiliki makna filosofis tertentu. Alhasil, ritus adat Mongubingo merupakan tradisi siklus hidup yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seorang perempuan suku Gorontalo. Ritual adat Mongubingo yang dibuat bagi bayi perempuan berusia satu sampai dengan usia tiga tahun tentu berbeda dengan ritual bayi suku Gorontalo seperti kelahiran atau aqiqah.
Menurut filosofi suku Gorontalo, anak perempuan diajarkan bagaimana menjadi dewasa dan berkembang menjadi perempuan yang beradab dalam tradisi Mongubingo. Setiap langkah prosesi adat Mongubingo memiliki konotasi filosofis yang mencerminkan hal tersebut. Prosesi momonto (memberikan tanda suci) berharap agar sang anak mampu mengamalkan ajaran Islam, dan prosesi lihu lo limu (mandi jeruk nipis) diharapkan agar sang anak menjadi pribadi yang bermanfaat bagi keluarga dan orang lain. Ritual-ritual ini semuanya mengandung nilai kebaikan agar si anak mampu menjaga auratnya. Untuk itu diperlukan penataan ritual adat Mongubingo bagi warga Gorontalo.
Dalam upacara adat Mongubingo, gagasan tentang kebaikan tidak hanya dipegang oleh individu masyarakat tetapi juga oleh tanggung jawab sosial masyarakat setempat untuk selalu menjunjung tinggi tradisi yang relevan dalam lingkup sosial masyarakat suku Gorontalo. Agar masyarakat Gorontalo dapat hidup berdampingan dengan damai, mereka perlu menjunjung tinggi gotong-royong. Alhasil, menjaga ritus adat Mongubingo kini menjadi kewajiban setiap orang sebagai bagian dari kesepakatan hidup komunal Gorontalo, bukan hanya sesuatu yang berlaku bagi setiap suku Gorontalo secara individu.
Orang-orang dari suku Gorontalo yang tidak menjalankan adat berisiko kehilangan rasa kebersamaan karena mereka memiliki pandangan dunia yang sama. Secara tidak langsung, berkat usaha bersama dari warga suku Gorontalo sendiri, ritual adat Mongubingo dapat bertahan hingga saat ini. Penduduk Gorontalo juga beranggapan bahwa ritus Mongubingo adalah sarana untuk mempengaruhi tingkah laku serta gaya hidup dan karakter perempuan. Mereka mendasarkannya pada tradisi Mongubingo, berharap sang putri akan menahan diri dari tindakan yang bertentangan dengan norma-norma lokal di masa depan, terutama agar dia dapat membatasi dirinya pada lawan jenis.
Sunat perempuan telah ditunjukkan dalam beberapa studi medis memiliki dampak negatif pada hasrat seksual perempuan. Penduduk Gorontalo memandang hal ini tidak hanya sebagai penekanan hasrat fisiologis, tetapi juga sebagai gagasan standar etika yang akan memungkinkan perempuan untuk selalu dapat membatasi diri pada lawan jenis dan menjaga kehormatannya di masa depan.
Gagasan tentang ritual adat Mongubingo ini kemudian dapat dikaitkan dengan bagaimana sebuah nilai agar perempuan Gorontalo mampu mengatur perilakunya. Untuk membentuk karakter anak sesuai dengan budaya yang dianut dalam tatanan adat Gorontalo, dapat dikatakan bahwa ritual adat Mongubingo memiliki nilai keutamaan moral dan keluhuran budi. Bayi perempuan mungkin mendapat manfaat dari ritual tradisional Mongubingo dengan belajar mengelola keinginannya.
Penulis:
Dra. Mardia Bin Smith S.Pd M.Si
Siti Fadya Az’zahra Alamri
Sri Nurindah Bakari