Gorontalo – Praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, telah lama menjadi duri dalam daging. Aktivitas ilegal yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat ini seolah tak tersentuh hukum.
Dugaan keterlibatan oknum dari lembaga negara dalam jaringan PETI semakin memperkuat kecurigaan bahwa ada kekuatan besar yang melindungi praktik haram ini.
Namun, pertanyaan besar juga mengarah pada peran aparat kepolisian, khususnya Polres Pohuwato dan Polda Gorontalo. Di tengah maraknya aktivitas PETI yang terang-terangan menggunakan alat berat, keberadaan aparat penegak hukum seolah hilang ditelan bumi. Alih-alih melakukan penindakan tegas, yang terjadi justru pembiaran yang nyata.
Aktivitas PETI yang berlokasi dekat dengan kantor lembaga negara, bahkan di belakang kantor mereka, menjadi bukti nyata betapa lemahnya penegakan hukum di wilayah ini. Bagaimana mungkin aktivitas ilegal bisa berjalan lancar di bawah hidung aparat penegak hukum? Apakah ini bentuk ketidakmampuan, atau justru kesengajaan?
Masyarakat Pohuwato tentu bertanya-tanya, kemana larinya aparat kepolisian? Mengapa mereka tidak bertindak tegas terhadap para pelaku PETI? Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah jelas mengatur bahwa aktivitas PETI adalah tindakan ilegal yang harus ditindak.
Pembiaran ini bukan hanya mencoreng citra kepolisian, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Bagaimana masyarakat bisa percaya pada hukum jika aparat yang seharusnya menegakkan hukum justru terkesan tutup mata?