Scroll Untuk Lanjut Membaca
BUDAYAPEMKAB POHUWATOPOHUWATO

Asal Muasal Kerajaan Empat “Uwililinga Wopato” di Paguat

×

Asal Muasal Kerajaan Empat “Uwililinga Wopato” di Paguat

Sebarkan artikel ini
Kerajaan Empat Paguat
Dokumen Sejarah adat lampau kerajaan empat di Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Dok: Arman Mohamad

Dulohupa.idPaguat adalah sebuah Kecamatan yang terletak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Paguat dikenal sebagai wilayah yang kental adat dan budayanya, terutama menceritakan kampung atau kerajaan Empat.

Dari tulisan ini, penulis Arman Mohammad mendeskripsikan sedikit ingatan dari cerita rakyat yang dikutip sebagiannya dari sebuah makalah berupa catatan tangan sejarawan lokal yang berada di Kecamatan Paguat. Sejarawan lokal ini yakni Almarhum Tahir A.Giu (Ti Pak Hara) yang pernah menjadi bahan diskusi pada seminar Adat Gorontalo tahun 1971 di Limboto Kabupaten Dati II Gorontalo Provinsi Dati I Sulawesi Utara.

Tahir A.Giu juga pernah menjabat Kepala Desa Bunuyo sepanjang masa Pemerintahan Orde Baru.
Istilah Kampung Empat atau Uwililinga Wopato merujuk pada keberadaan empat desa/kelurahan di Kecamatan Paguat yakni Desa Soginti, Sipayo, Bunuyo, dan Kelurahan Siduan saat ini.

Penamaan empat desa ini berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam di Gorontalo sekitar antara akhir abad ke XV dan awal abad XVI.

Saat itu Gorontalo (Hulontalangi) telah berbentuk kerajaan sebagai ikatan persatuan atau gabungan dari beberapa Linula (Kelompok) dengan diperintah oleh Raja Amai.

Sebagaimana biasanya, setiap raja memiliki naluri ingin berkunjung ketempat diluar wilayah kerajaannya dengan tujuan menjalin hubungan diplomatik dan juga untuk memperluas pengaruh wilayah kekuasaannya. Maka berangkatlah raja Amai bersama perangkatnya menuju arah barat melintasi lautan teluk Tomini.

Baca Juga:

Perayaan 1 Muharram di Sipayo Digelar Secara Adat Kerajaan Empat

Bocah Terseret Ombak di Pantai Monano Ditemukan Meninggal Dunia

Dalam perjalanan itu Amai singgah di beberapa pantai sekedar menyapa rakyatnya yang belum seberapa banyak.
Dalam perjalanan “Muhibah” tersebut Amai berhasil melampaui wilayah geografis kerajaan Gorontalo dan berhasil memasuki wilayah kerajaan Tomini di Palasa yang kedatangan raja Amai disambut oleh raja Ogomojolo.

Qadarullah Raja Amai tidak disengaja beradu pandang mata saat pertama kali bertemu dengan Putri Raja Ogomojolo yang cantik jelita, yang bernama Putri Owutango. Atas ketertarikan inilah Raja Amai langsung menyampaikan permohonannya kepada raja Ogomojolo ayahanda dari putri Owutango untuk melamar sang putri menjadi permaisurinya. Singkat cerita lamaran raja Amai itu beroleh persetujuan dari ayahanda sang putri namun dengan syarat Raja Amai bersama rakyatnya harus menganut Agama Islam.

Saat itu Raja Amai beserta Rakyat Gorontalo masih menganut kepercayaan Animisme. Kepercayaan Animisme sendiri merupaka kepercayaan kepada mahluk halus dan roh yang merupakan asas kepecayaan yang mula-mula muncul di kalangan manusia Purba.

Salah satu bentuk kepercayaan itu adalah menyembah dua gunung yang dipercaya (Tuhan suami istri) yakni gunung Tilonggabila dan Longgibila. Termasuk melaksanakan upacara adat memanggil roh-roh pada tarian Dayango. Mempercayai isyarat/informasi dari bentuk bunyi suara burung Hantu. Makan hasil buruan berupa babi dan lain sebagainya.

Persyaratan yang diberikan oleh Raja Tomini tersebut disanggupi oleh Raja Amai. Maka dilangsungkankanlah pernikahan antara putri Owutango dari Tomini dan Raja Amai dari Gorontalo di Palasa.

Usai pernikahan, kemudian Raja Amai memboyong Putri Owutango ke Gorontalo dengan di sertai oleh 8 orang perangkat kerajaan Tomini yg bertugas sebagai Mubaligh yang akan mengajarkan syariat Islam bagi Masyarakat Gorontalo yang akan menerima ajaran Agama Islam. Ke 8 hulubalang itu dikenal dengan istilah (Olongia Walu Montho Otolopa).

Setelah tiba dengan selamat di Gorontalo maka dipersiapkan pelaksanaan acara masuknya Agama Islam bagi masyarakat Gorontalo bersama pembesar Kerajaan dan Pengresmian ajaran Islam sebagai Agama resmi Kerajaan Gorontalo.

Peristiwa itu dikenal dengan nama Momotho .Saat itu Amai dipandu oleh 8 pembesar Kerajaan Tomini mengangkat sumpah diantaranya diawali dengan pengucapan syahadat dan janji untuk melaksanakan ajaran Islam dan meninggalkan kepercayaan Animisme dengan ditandai memberikan tanda/cap merah dari darah di dahi (Memontho).

Upacara memontho pada massa sekarang menjadi bagian dari ritual mandi lemon atau Khitan perempuan dengan memberikan tanda merah dari kunyit pada dahi anak perempuan.

Bagian dari isi ikrar pengIslaman rakyat Gorontalo adalah semua suku bangsa Gorontalo dan keturunannya adalah menganut agama Islam sampai akhir zaman. Kepada kerajaan dibantu oleh 8 hulubalang dari Tomini menyusun tata upacara adat (Lenggota) yg disesuaikan dengan syariat Islam.

Sejak saat itu Raja Amai diberikan gelar Sultan dan sebutan Olongia Ta lopo Isilamu. Sekarang Nama Sultan Amai diabadikan menjadi Nama perguruan tinggi IAIN Sultan Amai Gorontalo. Serta diabadikan sebagai Nama Masjid Hunto yang merupakan masjid pertama yang dibangun Sultan Amai saat Kerajaan Gorontalo menerima Islam sebagai agama Kerajaan.

Singkat cerita setelah menjalani kehidupan rumah tangga yang cukup singkat Sultan Amai dan Putri Owutango mengalami peristiwa perceraian (Lo Bubaria). Pernikahan mereka menghasilkan keturunan seorang putra dan dua putri yaitu PUTRA MATOLODULA, PUTRI YADIHULAWA, PUTRI TELEPULIYO.

Karena cerai, maka Putri Owutango mengajak 8 hulubalang yang menyertainya dari kerajaan Tomini untuk pulang kembali ke Palasa setelah terjadinya perceraian itu. 8 hulubalang raja itu adalah, TAMALATE, LEMBOO, SIENDENG, HULANGATO, SIPAYO, SOGINTI, BUNUYO dan SIDUAN.

Dari 8 orang pengawal tersebut 4 tertinggal di Gorontalo yakni Tamalate, Lemboo, Siendeng dan Hulangato. Sedang 4 lainnya yakni Sipayo, Siduan, Soginti dan Bunuyo berhasil meninggalkan kerajaan Gorontalo bersama putri Owutango menyusuri teluk Tomini berlayar menuju Palasa.

Namun takdir Allah memutuskan lain. Dalam perjalanan balik ke Palasa Putri Owutango besrta empat pengawal tadi ketika melintasi teluk Paguyaman (Milango Lo Pohuwayama) bertemu dengan kapal yang ditumpangi sultan Babullah dari Ternate sedang berlabuh. Konon Pertemuan itu menghasilkan pernikahan Sultan Babullah dengan Putri Owutango.

Nasib 4 hulubalang raja ini terpaksa tetap melanjutkan perjalanan setelah putri Owutango diboyong ke Ternate oleh Sultan Babullah.

Dalam perjalanan mereka menuju Palasa 4 raja-raja kecil ini kehabisan bekal dan juga tidak bisa melanjutkan perjalanan karena di perairan Bumbulan (Kecamatan Paguat saat ini) sering terjadi gangguan perampokan oleh bajak laut dari Mindanao (Mangginano).

Sehingga mereka sepakat untuk mendaratkan sampan atau kapal kecil mereka di wilayah Paguat sekarang. Peristiwa inilah oleh masyarakat setempat disebut Pilo Pohuwatiyo Lo Bulotu (tempat berhentinya perahu). Ada juga yang menyebut Pilohepitaliyo Lo Ta Huwa Huwato (tempat singgahnya para musafir). Konon dari kalimat inilah pertama kali dikenal kata Pohuwato yang kemudian hari oleh penjajah Belanda ditulis dan disebut Paguat.
Sebagaimana Belanda menulis dan menyebut Hulantaholo menjadi Gorontalo, Hubulo menjadi Gobel, Pohuwayama menjadi Paguyaman maka Pohuwato menjadi Paguat.

Singkat cerita. Kemudian 4 raja kecil setelah mendaratkan perahunya mereka justru tidak tinggal di areal pantai tetapi membuat tempat bermukim kurang lebih 8 kilometer kerah Utara yaitu di Molopaga (sekarang wilayah itu menjadi Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo). Hal itu bertujuan untuk menghindari bajak laut dan kemungkinan pula untuk menghindari kejaran dari prajurit Kerajaan Gorontalo.

Hingga hari ini 4 wilayah yg menjadi kekuasaan dari 4 raja kecil tersebut telah menjadi wilayah administratif desa dan kelurahan di Kecamatan Paguat dengan otonomi adat tersendiri sedikit berbeda dari adat Gorontalo pada umumnya.

Keberadaan 4 kerajaan ini dikelilingi oleh wilayah yang melaksanakan adat Gorontalo yg disebut Udulaa atau Ta To Inggimo atau disebut juga Wombu Walao. Sedangkan 4 desa dengan adat Tomini disebut UWILILINGA Uwililinga Wopayo atau Ti Yombu Tiyamo.

Tato Inggimo terdiri dari bagian Utara disebut Ti Panggulo (Desa Popaya sebelum Dengilo mekar menjadi Kecamatan), Bagian Timur Ti Dulomo (Desa Tabulo sebelum mekar menjadi Kecamatan Mananggu), Bagian Selatan Ti Bubohu (Kelurahan Pentadu), dan
Bagian Barat Milango Lo Taluhu (Marisa sekarang dan telah menjadi satu kecamatan).

Dan 4 raja ini masing-masing memiliki keahlian. Raja Soginti bernama DAI SAMBARANE, memiliki ketrampilan sebagai tukang ahli membuat rumah dan perabotan. Raja Sipayo bernama PAPASINGE terampil sebagai Mubaligh dan ahli Agama. Raja Bunuyo bernama KASIMU sebagai tukang besi, pandai membuat tombak, pedang, dan Badik (Padduppa). Raja Siduan bernama PUDII ahli pengobatan (Tiduwa) dan membuat alat tangkap ikan (Jala).

Ulasan singkat ini dikutip dari sejarah tutur kata dari para orang tua kita terdahulu yang di kemudian hari telah dideskripsikan oleh sejarawan kedalam tulisan. Benar atau tidak sebuah peristiwa sejarah adalah relatif karena keterbatasan benda-benda kuno yang bisa membuktikan keberadaannya. Namun terlepas dari semua itu, sejarah ini patut diketahui oleh semua orang sebagai bentuk dari penelusuran asal-usul masa lalu dari rentang waktu kebelakang yang penuh Heroisme. Sejarah bisa mengajarkan keluhuran Budi Pekerti dan juga menjadi kekayaan budaya yg tak ternilai.

Penulis: Arman Mohammad