Hal ini menimbulkan kekhawatiran lebih luas bahwa operasi semacam ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga melibatkan praktik bisnis ilegal yang lebih besar. Transshipment sering kali dijadikan celah untuk menghindari hukum, membuka jalan bagi pelanggaran yang lebih besar.
Pembangunan kebun energi dan deforestasi yang dilakukan di hutan alam, menjadi gambaran kecil bagaimana perusahaan merusak lingkungan dan mengancam ruang dan sumber penghidupan masyarakat lokal. Melalui aksi refleksi Hari Internasional Big Bad Biomass menjadi momen penting untuk menyampaikan pesan bahwa Gorontalo sebagai hulu dari rantai pasok perdagangan biomassa adalah malapetaka untuk masyarakat lokal.
Renal Nusa mengungkapkan “Pada momen ini, kami ingin menggalang dukungan publik luas sekaligus menuntut agar proyek biomassa ini segera dihentikan.”
Gorontalo dalam cengkraman proyek bioenergi
Transisi energi Indonesia tidak akan berhasil jika terus merusak bentang alam, menjadi tantangan bagi kebijakan seperti FoLU Net Sink 2030. Meski pemerintah menargetkan rehabilitasi jutaan hektare lahan, realisasinya hanya sekitar 30 ribu ha per tahun, yang berarti butuh lebih dari 1.000 tahun untuk menyelesaikannya.
Dalam konteks ini, PT Inti Global Laksana (IGL) dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) menjadi sorotan. Kedua perusahaan ini beroperasi dengan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui namun laporan investigasi dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam praktik tebang habis (land clearing) untuk memperoleh kayu alam sebagai bahan baku wood pellet. Hal ini bertentangan dengan tujuan rehabilitasi dan perlindungan hutan yang seharusnya menjadi fokus utama.