Orang-orang seperti ini seringkali dihujat dari sisi amal baiknya. Persoalan orang tersebut memiliki sifat nifaq atau munafik, itu masalah lain. Terkait dengan seseorang itu hanya berlindung dibalik kerudung, jubah dan penampilan sholeh untuk menutupi aib dan kesalahanya tentu hal ini bukan masalah. Setiap orang berhak untuk menutup rapat aib kejelekanya.
Islam sangat menghargai serta melindungi hak-dan privasi setiap individu warga. Sehingga ketika perzinahan itu dilakukan di dalam kamar sendiri, dalam rumahnya sendiri, petugas tidak berhak untuk melakukan penggeledahan atau penggebrekan secara serampangan.
Pelanggaran syara di wilayah privasi tetap akan dihukum setelah melalui proses pengadilan dengan mekanisme pembuktian (al-ahkam al-mubayyinat) yang khas. Semua itu diatur dalam sistem sanksi (nizhamul uqubat). Adapun etika pergaulan pria dan wanita, termasuk pakaian diatur dalam sistem pergaulan dalam islam (nizhamul ijtima’I fil islam), dan tatanan sosial diatur lewat andzhimatul mujtama’.
Seorang muslim dilarang menyebarkan aib orang lain, apalagi sampai memata-matai (tajassus) orang lain tanpa alasan yang benar, kecuali dalam rangka tugas negara memantau mereka yang disinyalir berhubungan dengan negara musuh. Tidak seperti di sistem sekuler hari ini dimana hak privasi orang lain diobral demi keuntungan materi.
Tidak selamanya dan tidak semua perbuatan buruk dapat menghapus pahala kebaikan. Kecuali untuk beberapa sifat tertentu yang memang dapat menghanguskan amal baik. Itupun ketika ada perbuatan yang dapat melenyapkan pahala amal baik bukan berarti amal baik itu dihentikan, ditinggalkan, tidak lagi dikerjakan. Seperti ghibah dan riya yang dapat menghapus pahala amal baik, bukan berarti meninggalkan amalan yang selama ini dikerjakan. Ketika minum khomr menyebabkan sholat tidak diterima selama empat puluh hari, tidak lantas orang itu lepas dari kewajiban sholat.