Sebelum bertanya, dia memperkenalkan diri bahwa selain kuliah, dia juga bekerja sebagai sopir mobil rental dan bertani cabai. Mendengar ini Amran langsung memotong:
“Kamu serius bertani, Nak? Berapa hektar lahan yang kamu garap?”
“40 kali 40 meter persegi, Pak”, jawab Alwi mantab.
Mentan tampak terkesiap.
“Apa pekerjaan ayahmu?”
“Buruh tani, Pak”, tegas Alwi.
Ruangan seketika hening. Mata Amran tampak sedikit berkaca. Namun ada ekspresi bangga.
“Kamu pendekar, Nak” ujarnya dengan penekanan khusus pada kata pendekar.
Amran berpaling ke Direktur Alat Mesin Pertanian yang duduk di deretan kursi belakang di seberangnya.
“Tolong berikan dia satu traktor tangan. Gunakan baik-baik, Nak, agar kerjamu lebih efisien, hasil panen meningkat dan kamu segera lulus. Ini bantuan dari pemerintah. Uang negara. Gunakan baik-baik,” tegasnya.
Namun, Alwi belum selesai. “Pak, tadinya saya ingin menyampaikan kalau di tanaman cabai, ada virus gemini yang susah dibasmi. Saya sudah menemukan caranya dengan ramuan,” ujar Alwi.
“Stop-stop-stop. Jangan ceritakan itu di sini. Urus hak patennya, kalau memang itu temuanmu dan belum ada yang mematenkan. Itu bisa jadi sumber penghasilan besar,” tegas Amran.
Ia pun meminta Kepala BSIP Kementerian Pertanian untuk membantu Alwi mengurus paten jika memang belum ada yang mematenkan.
Sebelumnya, Menteri Amran sempat berbagi kisah hidupnya yang berasal dari keluarga miskin dan sering dihina karena kemiskinannya. Ia mengawali karir dengan menjadi tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Namun, dia tidak pernah berhenti bekerja keras. Dia menemukan formula racun tikus yang kemudian dipatenkan.