Forum Rektor Indonesia juga memberikan dukungannya, dengan Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia, Didin Muhafidin, menilai kebijakan ini sebagai langkah positif, asalkan perguruan tinggi telah berstatus badan hukum (BHP) dan memiliki unit usaha sendiri.
Menurut Didin, keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang dapat meningkatkan pendapatan institusi, terutama bagi perguruan tinggi swasta besar yang memiliki yayasan dengan unit usaha. Pendapatan tambahan ini diharapkan dapat meringankan beban mahasiswa, misalnya dengan menekan kenaikan SPP atau biaya operasional lainnya.
Sementara itu, pihak kontra yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sangat menolak wacana ini dan mengimbau perguruan tinggi agar berpikir kritis dalam menyikapi tawaran pengelolaan tambang yang dinilai membawa dampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat. “Ini tawaran yang sangat berisiko. Tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga dapat menghancurkan tatanan sosial,” ujar perwakilan Walhi.
Mereka menegaskan, perguruan tinggi tidak boleh berubah menjadi institusi yang hanya mengejar keuntungan bisnis, sehingga melupakan perannya dalam mencerdaskan bangsa.
“Perguruan tinggi harus tetap menjaga independensinya dan tidak terjebak dalam kepentingan bisnis yang berpotensi merugikan rakyat,” tambahnya.
Selain itu, Walhi menyoroti bahwa pemerintah dan oligarki semakin terlihat berkolaborasi dalam kebijakan yang berisiko merugikan banyak pihak. Tidak hanya itu, Walhi melalui Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna mendesak agar usulan ini dihapuskan dalam revisi UU Minerba.